"Eh, kamu habis nikah ikut suamimu disana? Kerja atau momong anak?" Tanya bapak separuh baya penjual nasi pecel.
Aku sempat sedikit tersinggung dengan pertanyaannya, namun tetap ku jawab dengan sopan karena rasa hormatku pada beliau.
"Iya, ikut suami ke perantauan pakde, gak kerja tapi . . . . ."
Belum selesai aku menjelaskan atas jawabanku, si bapak penjual nasi pecel berkomentar lagi,
"Enak dong kamu, leha-leha, ongkang-ongkang kaki di rumah dapat cuan."
Astaghfirullah. . . . aku tak menyangka bahwa ayah teman baikku sedari balita berkata demikian. Tak bisa ku bayangkan, jika terhadapku saja beliau bisa berucap semenyakitkan itu, bagaimana saat berbicara dengan anaknya sendiri?
Ya. . . Aku memang tak bekerja, tapi bukankah pekerjaan di dalam rumah itu jauh lebih banyak menguras tenaga dan pikiran?
Aku seorang wanita dengan gelar sarjana teknik (S.T), bukan tanpa sebab tak bekerja diluar rumah dan memilih menjadi ibu rumah tangga (IRT), namun dikarenakan suamiku punya prinsip dan berpegang pada kalimat "Al-ummu madrasatul ula" yang berarti seorang ibu adalah madrasah pertama untuk anak-anaknya.
Suamiku yang juga lulusan sarjana teknik tidak pernah menuntutku untuk mencari penghasilan tambahan guna mencukupi kebutuhan rumah tangga kami. Ia begitu memuliakan istrinya, Suamiku pernah berkata bahwa ia tak melarang jika aku sebagai istrinya ingin membantu mencari penghasilan tambahan, namun dengan syarat tak meninggalkan tugas utama sebagai seorang ibu untuk anak-anaknya dan sebagai istri untuk dirinya. Bukankah amanah utama setelah menikah adalah itu?
Jauh sebelum aku punya anak, ya sebelum menikah. . . Setelah lulus kuliah aku meminta ijin pada orang tua untuk bisa menikah muda, sebagai orang tua yang masih sedikit berfikiran kuno tentu saja orang tuaku tak menerima begitu saja.
Bapakku, seorang pria paruh baya berprofesi sebagai satpam dan ibuku seorang ibu rumah tangga. Malam itu ketika pulang dari perantauan tempatku menimba ilmu, sesampainya dirumah aku menghampiri ibu yang sedang memasak di dapur, kemudian meminta pendapat tentang rencana untuk menikah muda.
"Buk, saat ini aku sedang dekat dengan seorang laki-laki baik, ia seorang alumni satu jurusan dan sudah mendapat pekerjaan mapan, bagaimana jika nanti setelah lulus kuliah aku menikah?" Tanya diriku kepada ibu.
"Loh. . . Loh. . . Sekolah tinggi-tinggi kok lulus kuliah pengen langsung nikah?, kerja dulu nyenengin orang tua baru nanti mikirin nikah." Ibuku menjawab dengan nada sedikit ngegas karena reflek kagetnya
"Tapi buk. . . Laki-laki baik ini gak pengen berlama-lama, gak baik pacaran, apa bisa ibuk bantu aku untuk bicara pada bapak?." Itulah pintaku pada ibu agar bisa berbicara dengan bapak.
Ibu yang saat itu merasa omonganku soal tidak baik berlama-lama menjalin hubungan ada benarnya akhirnya mengiyakan permintaanku dan segera menemui bapak.
Ibu mencari waktu yang tepat untuk berbincang-bincang dengan suaminya itu tentang keinginanku menikah muda.
Saat malam kian larut, ibu memberitahu bapak tentang rencana yang sudah kuutarakan pada beliau.
"Mas. . . Anak kita Humaira sedang dekat dengan seorang lelaki, dan mau minta ijin nikah setelah lulus kuliah." Ibuku menjelaskan.
Bapak yang saat itu mendengar merasa tidak siap dengan permintaan anaknya ini.
"Nikah? Sama lelaki mana? Ya kita harus tau dulu bibit bebet bobotnya, jangan-jangan sudah beristri." Itulah tanggapan dari bapak tehadap penjelasan ibu.
Keesokan harinya rumah terasa sangat hening bagai malam tanpa angin. Bapak yang biasa bergurau dengan anaknya itu terdiam tak ingin berbicara denganku, kalau orang jawa bilang namanya itu "Satru" (kondisi dimana seseorang tidak diajak berbicara ataupun disapa untuk beberapa waktu).
Akupun mendekati ibu dan bertanya apa yang sedang terjadi, dengan nada sedikit berbisik ibu menjelaskan tentang hasil perbincangannya dengan bapak tadi malam.
"Kata bapakmu tidak boleh nduk, harus tau dulu bibit bebet bobotnya takutnya ditipu." Ibuku menjelaskan dengan berbisik karena dekat pintu dapur ada bapak yang tengah duduk sambil menikmati kopi hitamnya.
Saat itu aku kian merasa sedih, padahal niat pulang ke rumah karena rindu orang tua, namun sesampainya di rumah aku tak dianggap dan didiamkan oleh bapak. Akhirnya di dapur yang sesak itu akupun menagis tersedu-sedu karena sedih.
Ibuku yang melihat anaknya sedang menangis berusaha menenangkan. Aku diminta kembali ke tempat perantaun agar bapak dan diriku sama-sama menenangkan diri. Aku pun menuruti apa yang dikatakan oleh ibu.
Pagi cerah sebelum ayah bapak berangkat kerja dan aku kembali ke perantauan, aku dekati bapak dan memegang tangannya untuk berpamitan sekaligus meminta maaf jika keinginanku telah membuatnya sakit hati.
Dari semenjak aku tumbuh menjadi seorang remaja hingga wanita dewasa bapak memang tidak pernah memperbincangkan tentang lawan jenis, pasangan, pacaran, atau kata-kata lainnya yang berarti sama. Dengan status sarjana teknik yang aku miliki ada harapan bapak agar anaknya memiliki kehidupan yang layak dan bisa memenuhi apapun yang diinginkan, karena bapak pernah merasakan yang namanya hidup susah, jadi ia tak mau anaknya menjalani kehidupan yang sama.
Sepulangnya dari membeli pecel, aku berpapasan dengan tetanggaku.
"Walah. . . Udah pulang kamu Humaira?, gimana disana? kerja kan?" Tanya seorang wanita paruh baya.
"Eemmm.... Hehehe" aku hanya menjawab dengan ketawa kecil.
Pertanyaan-pertanyaan yang sama oleh tetangga membuatku mulai bosan menjawab. Terkadang aku jawab pertanyaan itu dengan candaan, terkadang hanya dengan senyuman dan tak jarang juga dengan diam seribu bahasa. Bersikap cuek dengan pertanyaan yang membuatku muak itu.
Karena pengalaman didera berbagai macam pertanyaan, ada tipe ibu-ibu dalam pandanganku, ibu-ibu yang suka bergosip dan ibu-ibu yang memang tulus peduli saat bertanya.
Aku sebagai anak bungsu yang menikah mendahuli kakakku terlihat semakin buruk di depan para tetangga ketika sudah melahirkan anak pertama.
"Gak baik tau nikah ngelangkahi kakaknya, apalagi kakak adik sama-sama perempuan." Begitulah salah satu tanggapan tetanggaku di kampung halaman.
"Eh iya, kakakmu apa kabar sudah punya calon belum? Anakmu sudah 1 lho, masak kakakmu gak nikah-nikah." Pertanyaan lain yang membuat enggan untuk menjawabnya.
Aku memiliki kakak perempuan yang usianya tak terpaut jauh denganku. Saat menikah tak mungkin tak meminta restu kakak. Pada saat memimta restu kakakku berkata,
"Aku gak papa kok Ra kalo kamu mau duluan. Aku gak buru-buru soalnya."
Kakakku memang seorang penyanyang dan perhatian, jadi ia tak akan merasa tersingkir atau kecewa karena aku menikah mendahuluinya.
JOIN NOW !!!
BalasHapusDan Dapatkan Bonus yang menggiurkan dari dewalotto.club
Dengan Modal 20.000 anda dapat bermain banyak Games 1 ID
BURUAN DAFTAR!
dewa-lotto.name