Setelah perdebatan singkat dengan orangtua, akhirnya aku diperbolehkan untuk menikah muda. Usai meraih gelar sarjana teknik, selagi menunggu panggilan kerja, aku pulang ke kampung halaman. Belum sempat untuk mencoba mengarungi dunia kerja, ada lelaki yang sudah menentukan untuk segera meminangku.
Suamiku yang saat itu masih calon, buru-buru ingin menikahi gadis biasa ini bukan tanpa sebab, namun karena ia mengingat pesan almarhum ayahnya agar tidak berbuat zina, dan pacaran adalah salah satu jalan menuju perbuatan tercela itu. Jadi ia ingin segera menikah agar tidak terjerumus jurang maksiat.
Orang lain memang hanya akan bisa melihat kehidupan kita dari luar. Mereka tidak akan mungkin banyak tahu tentang kita, seluk beluknya hingga hal-hal tersembunyi. Maka wajar jika orang lain hanya bisa berkomentar, memberi tanggapan dan sesekali mengkritik tanpa pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi dan kita rasakan.
Seperti itulah yang aku rasakan dan mungkin dialami oleh banyak orang. Sarjana Teknik, itulah gelarku, perempuan dengan gelar pendidikan strata 1 dari sebuah perguruan tinggi negeri. Untuk gelar sarjana teknik yang aku sandang saat itu, orangtua harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit selama 4 tahun. Jangan tanya bagaimana perjuangan mereka. Tentu tidak dilakukan hanya dengan bersantai.
Aku tahu harapan orang tuaku tinggi terhadap anak-anaknya. Mereka ingin aku menjadi perempuan yang berpendidikan. Harapan mereka adalah agar anak-anaknya bisa memiliki masa depan yang lebih baik. Mereka tidak pernah secara terus terang mengatakan aku harus jadi apa atau harus berkarir di bidang apa. Tapi tanpa mereka mengatakan, aku sadar bahwa pada kamilah harapan orang tua bertumpu.
Menjadi seorang sarjana adalah cita-cita banyak orang, untuk meraih gelar itu tentulah tidak mudah, harus menempu pendidikan selama bertahun-tahun dengan berbagai macam masalah.
Lalu, apa gunanya menjadi seorang sarjana?. Sebagian orang menuntut sarjana kelak akan hebat dalam karir dan pekerjaannya begitu pula denganku. Setelah lulus kuliah dan meraih gelar sarjana teknik, banyak sekali langkah-langkah yang disorot oleh para tetangga.
Kenyataan hidup memang tidak selalu seperti apa yang semula diimpikan. Setelah lulus kuliah, belum sempat menjajakan kaki didunia pekerja, akupun menikah dengan seorang pria yang ku kenalkan secara singkat pada orang tua. Ketika para tetangga mengetahui bahwa aku akan menikah, banyak pro dan kontra termasuk diantaranya orang-orang terdekat. Karena salah satu yang menjadi konflik di lingkungan kampungku adalah banyak wanita bergelar sarjana lalu memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga.
"Sarjana kok jadi ibu rumah tangga"
"Ngapain sekolah tinggi kalau ujung-ujungnya di dapur juga"
"Kalo pengen jadi ibu rumah tangga gak perlu lah gelar sarjana, teknik pula"
Ya... untuk menjalani pendidikan sarjana teknik memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Maka dari itu banyak yang menyayangkan jika setelah menikah diriku memilih menjadi ibu rumah tangga.
Sebenarnya aku rasa tidak ada yang salah dengan pilihanku, menjadi seorang ibu rumah tangga dengan gelar sarjana bukanlah suatu kejahatan atau hal negatif, justru dengan menjadi ibu rumah tangga yang berpendidikan, intelektual tinggi, serta berwawasan luas akan berkemungkinan besar mampu mendidik anak-anak dengan baik, tidak hanya soal pendidikan tapi juga moral, sosial dan juga akhlak. Mengingatkanku pada sebuah kalimat,
"Anak-anakmu berhak dilahirkan oleh ibu yang cerdas"
Pernah suatu ketika sepulang sholat berjamaah di masjid, dengan masih mengenakan mukena aku bertemu dengan tetangga budheku. Dan ia bertanya,
"Katanya mau nikah ya?, gimana sih, sekolah tinggi-tinggi kok ujungnya nikah." Tutur perempuan itu.
"Kasian dong orang tuamu, sudah mengeluarkan biaya banyak kok malah diambil orang." Lanjutnya.
"Terus itu kakakmu juga kamu langkahi ya?, kasian banget, gak baik tau." Imbuh perempuan nyinyir itu.
"ASTAGHFIRULLAH. . .!" Teriakan dalam benakku, kok ada ya wanita yang nyinyirin wanita seperti ini. Aku merasa sedikit tak terima dengan ucapan si tetangga budhe pun membela diri dengan tutur kata yang lebih sopan secara singkat.
"Iya nih, Alhamdulillah jodohnya dekat, jadi ya disegerakan aja" ku balas pertanyaanya dengan paksaan senyum dibibir.
Begitulah perwatakan ibu-ibu kebanyakan di kampungku, kecepatan menyebarnya informasi bagai kilatan petir dan secepat jentikan jari Thanos. (Musuh paling kuat dalam film avengers)
Wuuuuuussshhhh.... !!! Luluh lantah seketika.
Karena informasi yang secepat petir menyambar, sampailah cibiran-cibiran itu ke telinga ibu. Beliau menasehatiku dengan nada sedikit tegas. Aku memaklumi sikap ibu itu. Karena memang di kampungku masih banyak orang yang berfikir kuno termasuk ibu.
Orang tuaku sempat menunjukkan keluhan atas statusku sebagai pengangguran saat sudah menikah, namun sesering apa pun mereka menerima omongan dari tetangga soal anaknya yang tidak bekerja, mereka selalu bisa menjawab dengan tenang.
Omongan tetangga tidak hanya diterima orang tua. Orang lain juga kerap menyampaikannya langsung padaku. Mereka bilang sayang sekali empat tahun pendidikanku tidak menghasilkan apa-apa. Mereka bilang ijazahku tidak berguna. Mereka memberi saran padaku untuk bekerja ini dan itu, di sana dan di situ. Tapi aku masih tetap pada pendirianku, aku masih ingin menjadi ibu rumah tangga. Memangnya apa yang salah jika sarjana sepertiku menjadi ibu rumah tangga?
Selalu ada tanggapan orang lain mengenai diriku yang masih saja betah dirumah, banyak yang bilang "jangan jadi wanita yang merepotkan suami" mereka bilang begini dan begitu tanpa tahu kehidupan ku bersama suami. Bagi kami itu bukan masalah serius yang akan mengganggu fokus kami dalam mengasuh anak. Tak apa, karena mereka tidak akan tahu bagaimana sebenarnya yang aku lakukan. Bagi mereka aku hanya perempuan yang betah di rumah, tapi mereka tidak tahu bagaimana kesibukan di dalamnya. Mereka tahu aku tidak memiliki gaji, tapi mereka tidak tahu caraku berpenghasilan.
Memangnya mengapa kalau aku hanya ibu rumah tangga? Bukankah semua orang punya peluang yang sama untuk berkarier dari mana pun, termasuk dari rumah? Bukankah semua orang punya kesempatan serupa untuk menjadi lady boss tanpa harus selalu berada di kantor dengan busana kerja yang rapi?
Semua pencapaianku bersama suami memang belum bisa diartikan bahwa kami telah mencapai kata sukses. Kami hanya sudah mampu lebih baik dari segi finansial. Karena bagi kami, sukses adalah proses, bukan tujuan akhir. Kami pun tidak pernah berhenti meminta kekuatan dari Allah, agar apa pun yang sedang menjadi beban dalam keluarga segera bisa di tuntaskan. Juga agar keberadaan kami serta anak-anak kami menjadi kebanggaan bagi orang tua ku.
JOIN NOW !!!
BalasHapusDan Dapatkan Bonus yang menggiurkan dari dewalotto.club
Dengan Modal 20.000 anda dapat bermain banyak Games 1 ID
BURUAN DAFTAR!
dewa-lotto.name