Minggu, 14 Juli 2019

Juli 14, 2019

Menjadi Ibu Rumah Tangga


Setelah perdebatan singkat dengan orangtua, akhirnya aku diperbolehkan untuk menikah muda. Usai meraih gelar sarjana teknik, selagi menunggu panggilan kerja, aku pulang ke kampung halaman. Belum sempat untuk mencoba mengarungi dunia kerja, ada lelaki yang sudah menentukan untuk segera meminangku.

Suamiku yang saat itu masih calon, buru-buru ingin menikahi gadis biasa ini bukan tanpa sebab, namun karena ia mengingat pesan almarhum ayahnya agar tidak berbuat zina, dan pacaran adalah salah satu jalan menuju perbuatan tercela itu. Jadi ia ingin segera menikah agar tidak terjerumus jurang maksiat.

Orang lain memang hanya akan bisa melihat kehidupan kita dari luar. Mereka tidak akan mungkin banyak tahu tentang kita, seluk beluknya hingga hal-hal tersembunyi. Maka wajar jika orang lain hanya bisa berkomentar, memberi tanggapan dan sesekali mengkritik tanpa pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi dan kita rasakan.

Seperti itulah yang aku rasakan dan mungkin dialami oleh banyak orang. Sarjana Teknik, itulah gelarku, perempuan dengan gelar pendidikan strata 1 dari sebuah perguruan tinggi negeri. Untuk gelar sarjana teknik yang aku sandang saat itu, orangtua harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit selama 4 tahun. Jangan tanya bagaimana perjuangan mereka. Tentu tidak dilakukan hanya dengan bersantai.

Aku tahu harapan orang tuaku tinggi terhadap anak-anaknya. Mereka ingin aku menjadi perempuan yang berpendidikan. Harapan mereka adalah agar anak-anaknya bisa memiliki masa depan yang lebih baik. Mereka tidak pernah secara terus terang mengatakan aku harus jadi apa atau harus berkarir di bidang apa. Tapi tanpa mereka mengatakan, aku sadar bahwa pada kamilah harapan orang tua bertumpu.

Menjadi seorang sarjana adalah cita-cita banyak orang, untuk meraih gelar itu tentulah tidak mudah, harus menempu pendidikan selama bertahun-tahun dengan berbagai macam masalah.

Lalu, apa gunanya menjadi seorang sarjana?. Sebagian orang menuntut sarjana kelak akan hebat dalam karir dan pekerjaannya begitu pula denganku. Setelah lulus kuliah dan meraih gelar sarjana teknik, banyak sekali langkah-langkah yang disorot oleh para tetangga.

Kenyataan hidup memang tidak selalu seperti apa yang semula diimpikan. Setelah lulus kuliah, belum sempat menjajakan kaki didunia pekerja, akupun menikah dengan seorang pria yang ku kenalkan secara singkat pada orang tua. Ketika para tetangga mengetahui bahwa aku akan menikah, banyak pro dan kontra termasuk diantaranya orang-orang terdekat. Karena salah satu yang menjadi konflik di lingkungan kampungku adalah banyak wanita bergelar sarjana lalu memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga.

"Sarjana kok jadi ibu rumah tangga"

"Ngapain sekolah tinggi kalau ujung-ujungnya di dapur juga"

"Kalo pengen jadi ibu rumah tangga gak perlu lah gelar sarjana, teknik pula"

Ya... untuk menjalani pendidikan sarjana teknik memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Maka dari itu banyak yang menyayangkan jika setelah menikah diriku memilih menjadi ibu rumah tangga.

Sebenarnya aku rasa tidak ada yang salah dengan pilihanku, menjadi seorang ibu rumah tangga dengan gelar sarjana bukanlah suatu kejahatan atau hal negatif, justru dengan menjadi ibu rumah tangga yang berpendidikan, intelektual tinggi, serta berwawasan luas akan berkemungkinan besar mampu mendidik anak-anak dengan baik, tidak hanya soal pendidikan tapi juga moral, sosial dan juga akhlak. Mengingatkanku pada sebuah kalimat,

"Anak-anakmu berhak dilahirkan oleh ibu yang cerdas"

Pernah suatu ketika sepulang sholat berjamaah di masjid, dengan masih mengenakan mukena aku bertemu dengan tetangga budheku. Dan ia bertanya,

"Katanya mau nikah ya?, gimana sih, sekolah tinggi-tinggi kok ujungnya nikah." Tutur perempuan itu.

"Kasian dong orang tuamu, sudah mengeluarkan biaya banyak kok malah diambil orang." Lanjutnya.

"Terus itu kakakmu juga kamu langkahi ya?, kasian banget, gak baik tau." Imbuh perempuan nyinyir itu.

"ASTAGHFIRULLAH. . .!" Teriakan dalam benakku, kok ada ya wanita yang nyinyirin wanita seperti ini. Aku merasa sedikit tak terima dengan ucapan si tetangga budhe pun membela diri dengan tutur kata yang lebih sopan secara singkat.

"Iya nih, Alhamdulillah jodohnya dekat, jadi ya disegerakan aja" ku balas pertanyaanya dengan paksaan senyum dibibir.

Begitulah perwatakan ibu-ibu kebanyakan di kampungku, kecepatan menyebarnya informasi bagai kilatan petir dan secepat jentikan jari Thanos. (Musuh paling kuat dalam film avengers)

Wuuuuuussshhhh.... !!! Luluh lantah seketika.

Karena informasi yang secepat petir menyambar, sampailah cibiran-cibiran itu ke telinga ibu. Beliau menasehatiku dengan nada sedikit tegas. Aku memaklumi sikap ibu itu. Karena memang di kampungku masih banyak orang yang berfikir kuno termasuk ibu.

Orang tuaku sempat menunjukkan keluhan atas statusku sebagai pengangguran saat sudah menikah, namun sesering apa pun mereka menerima omongan dari tetangga soal anaknya yang tidak bekerja, mereka selalu bisa menjawab dengan tenang.

Omongan tetangga tidak hanya diterima orang tua. Orang lain juga kerap menyampaikannya langsung padaku. Mereka bilang sayang sekali empat tahun pendidikanku tidak menghasilkan apa-apa. Mereka bilang ijazahku tidak berguna. Mereka memberi saran padaku untuk bekerja ini dan itu, di sana dan di situ. Tapi aku masih tetap pada pendirianku, aku masih ingin menjadi ibu rumah tangga. Memangnya apa yang salah jika sarjana sepertiku menjadi ibu rumah tangga?

Selalu ada tanggapan orang lain mengenai diriku yang masih saja betah dirumah, banyak yang bilang "jangan jadi wanita yang merepotkan suami" mereka bilang begini dan begitu tanpa tahu kehidupan ku bersama suami. Bagi kami itu bukan masalah serius yang akan mengganggu fokus kami dalam mengasuh anak. Tak apa, karena mereka tidak akan tahu bagaimana sebenarnya yang aku lakukan. Bagi mereka aku hanya perempuan yang betah di rumah, tapi mereka tidak tahu bagaimana kesibukan di dalamnya. Mereka tahu aku tidak memiliki gaji, tapi mereka tidak tahu caraku berpenghasilan.

Memangnya mengapa kalau aku hanya ibu rumah tangga? Bukankah semua orang punya peluang yang sama untuk berkarier dari mana pun, termasuk dari rumah? Bukankah semua orang punya kesempatan serupa untuk menjadi lady boss tanpa harus selalu berada di kantor dengan busana kerja yang rapi?

Semua pencapaianku bersama suami memang belum bisa diartikan bahwa kami telah mencapai kata sukses. Kami hanya sudah mampu lebih baik dari segi finansial. Karena bagi kami, sukses adalah proses, bukan tujuan akhir. Kami pun tidak pernah berhenti meminta kekuatan dari Allah, agar apa pun yang sedang menjadi beban dalam keluarga segera bisa di tuntaskan. Juga agar keberadaan kami serta anak-anak kami menjadi kebanggaan bagi orang tua ku.

Jumat, 22 Februari 2019

Februari 22, 2019

Nikah Muda

 


"Eh, kamu habis nikah ikut suamimu disana? Kerja atau momong anak?" Tanya bapak separuh baya penjual nasi pecel.

Aku sempat sedikit tersinggung dengan pertanyaannya, namun tetap ku jawab dengan sopan karena rasa hormatku pada beliau.

"Iya, ikut suami ke perantauan pakde, gak kerja tapi . . . . ."

Belum selesai aku menjelaskan atas jawabanku, si bapak penjual nasi pecel berkomentar lagi,

"Enak dong kamu, leha-leha, ongkang-ongkang kaki di rumah dapat cuan."

Astaghfirullah. . . .  aku tak menyangka bahwa ayah teman baikku sedari balita berkata demikian. Tak bisa ku bayangkan, jika terhadapku saja beliau bisa berucap semenyakitkan itu, bagaimana saat berbicara dengan anaknya sendiri?

Ya. . . Aku memang tak bekerja, tapi bukankah pekerjaan di dalam rumah itu jauh lebih banyak menguras tenaga dan pikiran?

Aku seorang wanita dengan gelar sarjana teknik (S.T), bukan tanpa sebab tak bekerja diluar rumah dan memilih menjadi ibu rumah tangga (IRT), namun dikarenakan suamiku punya prinsip dan berpegang pada kalimat "Al-ummu madrasatul ula" yang berarti seorang ibu adalah madrasah pertama untuk anak-anaknya.

Suamiku yang juga lulusan sarjana teknik tidak pernah menuntutku untuk mencari penghasilan tambahan guna mencukupi kebutuhan rumah tangga kami. Ia begitu memuliakan istrinya, Suamiku pernah berkata bahwa ia tak melarang jika aku sebagai istrinya ingin membantu mencari penghasilan tambahan, namun dengan syarat tak meninggalkan tugas utama sebagai seorang ibu untuk anak-anaknya dan sebagai istri untuk dirinya. Bukankah amanah utama setelah menikah adalah itu?

Jauh sebelum aku punya anak, ya sebelum menikah. . .  Setelah lulus kuliah aku meminta ijin pada orang tua untuk bisa menikah muda, sebagai orang tua yang masih sedikit berfikiran kuno tentu saja orang tuaku tak menerima begitu saja.

Bapakku, seorang pria paruh baya berprofesi sebagai satpam dan ibuku seorang ibu rumah tangga. Malam itu ketika pulang dari perantauan tempatku menimba ilmu, sesampainya dirumah aku menghampiri ibu yang sedang memasak di dapur, kemudian meminta pendapat tentang rencana untuk menikah muda.

"Buk, saat ini aku sedang dekat dengan seorang laki-laki baik, ia seorang alumni satu jurusan dan sudah mendapat pekerjaan mapan, bagaimana jika nanti setelah lulus kuliah aku menikah?" Tanya diriku kepada ibu.

"Loh. . . Loh. . . Sekolah tinggi-tinggi kok lulus kuliah pengen langsung nikah?, kerja dulu nyenengin orang tua baru nanti mikirin nikah." Ibuku menjawab dengan nada sedikit ngegas karena reflek kagetnya

"Tapi buk. . . Laki-laki baik ini gak pengen berlama-lama, gak baik pacaran, apa bisa ibuk bantu aku untuk bicara pada bapak?." Itulah pintaku pada ibu agar bisa berbicara dengan bapak.

Ibu yang saat itu merasa omonganku soal tidak baik berlama-lama menjalin hubungan ada benarnya akhirnya mengiyakan permintaanku dan segera menemui bapak.

Ibu mencari waktu yang tepat untuk berbincang-bincang dengan suaminya itu tentang keinginanku menikah muda.

Saat malam kian larut, ibu memberitahu bapak tentang rencana yang sudah kuutarakan pada beliau.

"Mas. . . Anak kita Humaira sedang dekat dengan seorang lelaki, dan mau minta ijin nikah setelah lulus kuliah." Ibuku menjelaskan.

Bapak yang saat itu mendengar merasa tidak siap dengan permintaan anaknya ini.

"Nikah? Sama lelaki mana? Ya kita harus tau dulu bibit bebet bobotnya, jangan-jangan sudah beristri." Itulah tanggapan dari bapak tehadap penjelasan ibu.

Keesokan harinya rumah terasa sangat hening bagai malam tanpa angin. Bapak yang biasa bergurau dengan anaknya itu terdiam tak ingin berbicara denganku, kalau orang jawa bilang namanya itu "Satru" (kondisi dimana seseorang tidak diajak berbicara ataupun disapa untuk beberapa waktu).

Akupun mendekati ibu dan bertanya apa yang sedang terjadi, dengan nada sedikit berbisik ibu menjelaskan tentang hasil perbincangannya dengan bapak tadi malam.

"Kata bapakmu tidak boleh nduk, harus tau dulu bibit bebet bobotnya takutnya ditipu." Ibuku menjelaskan dengan berbisik karena dekat pintu dapur ada bapak yang tengah duduk sambil menikmati kopi hitamnya.

Saat itu aku kian merasa sedih, padahal niat pulang ke rumah karena rindu orang tua, namun sesampainya di rumah aku tak dianggap dan didiamkan oleh bapak. Akhirnya di dapur yang sesak itu akupun menagis tersedu-sedu karena sedih.

Ibuku yang melihat anaknya sedang menangis berusaha menenangkan. Aku diminta kembali ke tempat perantaun agar bapak dan diriku sama-sama menenangkan diri. Aku pun menuruti apa yang dikatakan oleh ibu.

Pagi cerah sebelum ayah bapak berangkat kerja dan aku kembali ke perantauan, aku dekati bapak dan memegang tangannya untuk berpamitan sekaligus meminta maaf jika keinginanku telah membuatnya sakit hati.

Dari semenjak aku tumbuh menjadi seorang remaja hingga wanita dewasa bapak memang tidak pernah memperbincangkan tentang lawan jenis, pasangan, pacaran, atau kata-kata lainnya yang berarti sama. Dengan status sarjana teknik yang aku miliki ada harapan bapak agar anaknya memiliki kehidupan yang layak dan bisa memenuhi apapun yang diinginkan, karena bapak pernah merasakan yang namanya hidup susah, jadi ia tak mau anaknya menjalani kehidupan yang sama.

Sepulangnya dari membeli pecel, aku berpapasan dengan tetanggaku.

"Walah. . .  Udah pulang kamu Humaira?, gimana disana? kerja kan?" Tanya seorang wanita paruh baya.

"Eemmm.... Hehehe" aku hanya menjawab dengan ketawa kecil.

Pertanyaan-pertanyaan yang sama oleh tetangga membuatku mulai bosan menjawab. Terkadang aku jawab pertanyaan itu dengan candaan, terkadang hanya dengan senyuman dan tak jarang juga dengan diam seribu bahasa. Bersikap cuek dengan pertanyaan yang membuatku muak itu.

Karena pengalaman didera berbagai macam pertanyaan, ada tipe ibu-ibu dalam pandanganku, ibu-ibu yang suka bergosip dan ibu-ibu yang memang tulus peduli saat bertanya.

Aku sebagai anak bungsu yang menikah mendahuli kakakku terlihat semakin buruk di depan para tetangga ketika sudah melahirkan anak pertama.

"Gak baik tau nikah ngelangkahi kakaknya, apalagi kakak adik sama-sama perempuan." Begitulah salah satu tanggapan tetanggaku di kampung halaman.

"Eh iya, kakakmu apa kabar sudah punya calon belum? Anakmu sudah 1 lho, masak kakakmu gak nikah-nikah." Pertanyaan lain yang membuat enggan untuk menjawabnya.

Aku memiliki kakak perempuan yang usianya tak terpaut jauh denganku. Saat menikah tak mungkin tak meminta restu kakak. Pada saat memimta restu kakakku berkata,

"Aku gak papa kok Ra kalo kamu mau duluan. Aku gak buru-buru soalnya."

Kakakku memang seorang penyanyang dan perhatian, jadi ia tak akan merasa tersingkir atau kecewa karena aku menikah mendahuluinya.

Jumat, 15 Februari 2019

Februari 15, 2019

Tentang Menghargai Perbedaan


Ini kisah tentang anak perempuan yg berbeda latar belakang...



          Sewaktu menjadi mahasiswa, saya salah satu volunteer sebuah sekolah rakyat, disanalah pertama kali saya bertemu dengan seorang anak perempuan kelas 3 SD yg extraordenary menurut saya, kenapa?? She is smart girl, selalu nyambung sama apa yg saya ajarkan, when I asking to her, ntar kalo gede pengen jadi apa? (Cita-citanya) dia jawab kalo dia pengen sekolah tinggi sampe S3 di Unair dan jadi dokter, luar biasaaah anak kelas 3 SD sudah punya tujuan yg jelas, saya jadi merasa malu , beda banget sama jaman saya SD, saya aja taunya sekolah sampek lulus SMA, belum paham apa itu sarjana (maklum anak desa).


            Ayahnya seorang apoteker dan ibunya ibu rumah tangga. Saya merasa eman jika anak sepintar dia gak ada yg ngajarin, akhirnya di luar jadwal mengajar dan kuliah, saya pun dengan senang hati megajarinya, berharap kelak dia jadi anak yg bisa memanfaatkan ilmunya untuk sekitar, agama dan negara.

             Pertama kali datang ke rumahnya saya sempat kaget karena pertama kali juga melihat hal ini di kota Surabaya, jadi mereka sekeluarga (4 orang) tinggal di sebuah kontrakan 3x4  meter dimana didalam rumah itu terdapat barang2 rumah tangga yang memenuhi ruangan dan toilet bersama berada di luar. Hmmm I can't speak anymore. Kebayang nggak sih betapa sabarnya si anak  ini. Orang tua anak ini memang menekankan pada ilmu dan agama terlihat dari si anak yang sangat suka belajar dan mengaji (di jaman sekarang tak jarang anak2 lebih memilih menghabiskan waktu bersama gadget mereka). Anak ini juga sudah pandai mencari uang dengan hasil karyanya yang di jual ke teman2nya (semacam belajar bisnis lah). MasyaAllah....


            Menjelang tugas akhir saya menjadi guru privat anak lain, 2 bersaudara si adik kelas 1 SD dan si kakak kelas 4 SD di salah satu SD Swasta di Surabaya, mereka adalah anak-anak yg kalau saya bilang termasuk kids jaman now, dari keluarga terbilang mampu, tinggal di sebuah perumahan (beda 180° lah intinya sama anak yg saya ceritakan pertama tadi) Semua fasilitas tersedia mulai dari tv, WiFi, gadget, kamar AC, kulkas, cemilan (lengkap lah pokoknya) apapun bisa mereka gunakan sesuka mereka, Kedua orang tua anak ini sibuk dengan pekerjaan mereka, mereka anak yg smart but yang namanya anak2 pasti gabisa jauh lah ya sama namanya nakal dan males belajar.
            Pernah saya mendengar cerita, karena kenakalan anak2 ini beberapa pengasuh memilih mengunci mereka di dalam kamar atau di dalam rumah, hingga pada akhirnya orang tua memutuskan tidak memakai pengasuh karena kasian dengan anak2 ini. Mereka sekolah hingga pukul 2 siang, jadwal les jam 4 sore, orang tua mereka hanya bisa memantau by phone saja.. Apakah sudah sampai di rumah? Apakah sudah makan siang? Apakah sudah mandi sore? Orang tua kedua anak ini hanya mendengar dari suara (terkadang video call juga sih). Sepulang sekolah kedua anak ini dirumahnya tanpa adanya pengawasan orang dewasa. Orang tua mereka sering pulang sekitaran jam 8 malam, tiap saya kesana tak jarang mereka masih berpakaian sekolah, belum makan dan mandi karena asyik dengan gadget mereka. (Kalo di pikir lagi saya serasa baby sister waktu itu ) finally saya yg harus memastikan mereka siap belajar tanpa ada gangguan. 
            Yang saya rasakan berbeda sekali dengan anak yg pertama saya ceritakan yg hidupnya mungkin "pas-pas an", seperti anak2 lainnya dia seorang gadis polos, pemalu dengan sopan santunnya (contoh : nyalamin saya ketika datang dan pulang). 
            Kembali lagi ke dua gadis di perumahan, mereka sangat berani nggak ragu buat ngomong dan bertindak sesuka mereka, saya sih memaklumi karena lingkungan mereka memang seperti itu. Ada hal yang saya suka dari kedua anak bersaudara ini, mereka tak ragu untuk bertanya ketika mereka merasa penasaran, jadi kedua anak ini non muslim tapi mereka tertarik akan Islam, tak jarang tiap kali saya mengajar mereka menanyakan beberappa hal tentang Islam dan dengan antusiasnya saya menjawab (berharap nanti kalo sudah besar hati mereka tergugah untuk masuk Islam :D).
   Cerita lain suatu ketika si kakak yg saat itu kelas 5 SD menangis tersedu2, mungkin hari itu saking capeknya dia kali ya, si anak ini bercerita (sampe jadinya itu adalah sebuah curahan hati ). Dia merasa sebal dengan maminya karena tak kunjung pulang, dia lelah tiap hari menunggu orang tua mereka datang ke rumah, yapss... mereka butuh kasih sayang lebih di usia mereka, saya jadi speechless karena ini kan masalah keluarga yg tidak mungkin saya ikut campur yaa...             Akhirnya saya kasih saran untuk si anak ini agar mengutarakan ke maminya dan bisa ngerti yg di pengen si anak ini (bukankah komunikasi itu adalah hal yg utama untuk menyelesaikan masalah? ya kan?), anak itu bilang sudah pernah ngomong, maminya berbicara mau cari uang dulu yg banyak baru nanti stay di rumah dan si anak ini masih menunggu hal itu terjadi. Saya kasian melihat anak ini menangis sebegitu jadinya karena rindunya kasih sayang orang tua mereka yg sedang sibuk bekerja. 
            Saya tahu perasaan si mami pasti juga berat untuk ninggalin buah hatinya di rumah hanya berdua. Tapi semua adalah pilihan yaa... Saya tidak ingin mengjudge itu salah atau benar karena sayapun tidak tau alasan sebenarnya si mami memilih bekerja dan meninggalkan anak2nya. Karakter dari anak2 yang berbeda latar belakang ini membuat saya sadar, anak-anak di usia mereka masih harus dalam pengawasan orang tua, lingkungan mempengaruhi karakter anak terutama didikan orang tua. Saya berharap kelak mereka semua bisa menjadi manusia yg berguna untuk sekitar. Yang jelas dari pengalaman ini saya punya pesan utama untuk pembaca sekalian.
“Jika masih ada suami di yang mampu untuk menafkahi, sebaiknya kita sebagai perempuan tetap di rumah untuk menjaga dan mendidik buah hati kita. Dan jika memang ingin membantu finansial keluarga bisa kok dengan cara yang lain tanpa kita harus ninggalin buah hati tercinta, bukankah anak adalah harta paling berharga bagi orang tua nya? Yang takkan pernah ternilai oleh harta apapun”
Semoga kita tidak menjadikan harta sebagai tujuan utama dalam kehidupan terutama sesudah berumah tanggan dan selalu melibatkan Allah dalam segala urusan di dunia.
Note : Tulisan ini hanyalah tuangan dari pikiran yang ingin saya bagi ke para pembaca sekalian, semoga bisa bermanfaat :D. Mohon maap apabila cerita kurang menarik dan banyak kesalahan dalam penulisan kalimat. Karena sesungguhnya penulis hanyalah manusia biasa.  


Rabu, 02 Januari 2019

Januari 02, 2019

Sarjana kok jadi Ibu Rumah Tangga?

Berat nggak sih kalian mengorbankan gelar sarjana untuk gelar sebagai Ibu Rumah Tangga?

Ini adalah salah satu penyebab banyaknya wanita jadi ANDILAU alias Antara Dilema dan Galau. Why??? Sudah dari dasarnya ya pemikiran wanita dan laki-laki itu berbeda apalagi untuk kasus seperti ini.

Kita tak pernah tau pasangan dunia kapan datangnya, Awalnya saya berencana lulus kuliah kemudian bekerja, hal itu berubah ketika Allah mengirimkan seorang lelaki yg meminang saya, karena Abang ber prinsip Al-ummu madrasatul ula, jadi beliau lebih menyukai saya menggunakan lebih banyak waktu bersama anak dan jika memang ingin menyalurkan hobby maka pada pekerjaan yg tidak membuat kehilangan pekerjaan utama saya, mengajar atau wirausaha misalnya.



Pernah suatu ketika saya berdiskusi dengan suami (yg waktu itu masih calon) tentang memilih wanita karir (bekerja) atau homemaker (bisa juga disebut housewife) ada perkataan yg membuat hati terenyuh, inti kalimatnya seperti ini "Apakah seorang wanita bisa di katakan sebagai seorang istri dan ibu jika dia menghabiskan lebih banyak waktu dengan pekerjaannya di luar rumah" 😢

Beliau tidak melarang saya bekerja selama tujuannya bukan mencari nafkah karena itu bukan tugas utama seorang istri dan ibu. Jika ada pertanyaan pernah nggak sih mbak pengen kerja? Yap.. "Pernah". Dulu saya merasa kerjaan rumah paling ya itu2 aja, kadang ngiri juga liat postingan para ibu2 karir yg sibuk dengan pekerjaan lainnya. Tapiiii oh Tapiii.... sebuah diskusi menyadarkan saya... kembali lagi pada visi, misi hal yg kita lakukan, bukankah memang ladang amal seorang istri adalah di rumah, setelah saya menikah dan hidup mandiri bersama suami, pekerjaan yg saya kira itu2 saja ternyata menyita banyak waktu apalagi setelah adanya anak (hidup single dan berumahtangga itu beda itulah yg mungkin terlupakan).

Saya berharap tulisan ini bisa menjadi reminder untuk wanita yg punya takdir sama seperti saya..

Ibu Rumah Tangga juga termasuk karir yang sangat mulia kok. Dan kita tak pernah tau alasan apa di balik Bu ibu harus bekerja padahal ada suami yg juga sedang bekerja. Iya kan...???

Saya salut sama mereka (Bu Ibu yg punya anak dan bekerja) karena sebegitu sibuknya mereka masih bisa mengurus anak dengan kasih sayang yg semoga tetap penuh, walaupun saya tau pasti berat juga hati mereka untuk meninggalkan buah hatinya.

Yang jelas semangat ya para emak2  😘😘😘 , dimanapun kita berada, dan apapun yg kita lakukan, semoga suami kita meridhoi apa yg kita kerjakan. karena sesungguhnya surga kita ada pada ridho suami.


Salam, Emak2

Januari 02, 2019

Interview

Tentang sebuah pengalaman "Cari Kerja", tulisan ini lebih di khususkan untuk para wanita yaaa....

Ditolak karena Gender? Pernah
Ditolak karena skill yang tidak sesuai? Pernah
Ditolak karena adanya relasi kerja? Pernah
Ditolak karena target nikah? Pernah (dan ini yg paling sering terjadi)
Ditolak karena jarak rumah? Pernah

                                                                             Kok bisaa??

Ini cerita saya,
Tahun 2017 di bulan Oktober saya mendapatkan gelar S.ST, yap... gelar yang akan kamu dapat ketika berkuliah pada jurusan teknik di sebuah politeknik. Setelah lulus aktivas gak beda jauh lah ya sama fresh graduate biasanya, yakni mencari kerja. Susah nggak sih nyari kerja itu??? apalagi untuk woman engineer?? Jawabannya nggak susah kok kalau kamu punya dua hal utama. Apa itu? yang pertama "SKILL" dan yang kedua "LUCKY" alias keberuntungan..

Memang kita sebagai wanita harus berusaha lebih keras karena banyak perusahaan yang lebih mengutamakan laki-laki, tapi nggak sedikit juga yang menerima karyawan wanita.

Ketika musimnya fresh graduate bertebaran, banyak job fair di berbagai universitas, seperti fresh graduate lainnya saya pun menyiapkan berkas dan mengikuti beberapa job fair di Jawa Timur.

Apakah dapat panggilan? Dapat. Namun hanya di salah satu job fair saja, panggilan kerjanya pun bisa di hitung jari. Sempat saya berfikir, mungkin karena GPA saya biasa-biasa aja kali ya makanya tiap job fair jarang dapat panggilan dan ketika saya mulai sharing dengan teman-teman wanita lainnya ternyata tidak cuma saya saja, GPA tinggi pun bernasib sama (Alhamdulillah jadi merasa tidak sendirian). Hehe

Saya pun mencoba cara lain untuk mendapat kerja yakni dengan :
1. Mendatangi langsung perusahaan dan menanyakan satu persatu perusahaan di kawasan industri tersebut apakah terdapat lowongan kerja untuk wanita.
2. Mengikuti Job Fair diberbagai Universitas.
3. Memanfaatkan relasi yang sudah bekerja.
4. Mencari lowongan kerja di internet dan mengirimkan berkas lewat kantor pos.

Point nomor 1 gagal, aaaa...

Point nomer 3, Alhamdulillah saya beberapa kali dapat panggilan interview hrd, interview kerja hrd pertama saya gagal karena adanya relasi kerja disana, beberapa gagal karena skill yg kurang sesuai dengan lowongan yg di buka (It's Okay lah yaaa.. masih ada kesempatan lain).

Point nomor 4, selesai searching dan mengirim beberapa berkas lewat kantor pos, Alhamdulillah dapat panggilan awalnya diinterview lewat telefon (dari perusahaan memastikan data-data yg telah saya kirimkan) kemudian di minta untuk interview langsung di perusahaan itu.

Bulan Nopember 2017 berangkatlah saya ke daerah Cikarang untuk Interview, lah ya apalagi aku kandidat tunggal pada saat itu
x
x
x

Selasa, 13 Maret 2012

Maret 13, 2012

Derap Kaki-Kaki Sapi

Jadi ceritanya waktu masih SMA ada tugas untuk membuat cerita yg nantinya akan di novelkan sekelas (satu novel karya anak-anak kelas dengan cerita masing-masing). Banyak dari teman saya memilih menuliskan tentang kisah cinta mereka, karena saya waktu itu tidak memiliki kisah cinta menarik akhirnya saya putuskan untuk untuk meggunakan pengalaman adventure ini :D soalnya dulu waktu SD pernah jadi cerita terbaik di kelas wkwkwk.

Enjoy Your Reading......


Hari minggu, dibawah sinar mentari yang seakan menatap tajam padaku, ku bermain bersama kawan-kawan tersayangku. Ditengah ilalang yang bergoyang bagai menari karena diterpa angin, bersama dua kawan perempuan dan seorang kawan lelaki seperti halnya anak-anak 9 berusia 9 tahun lainnya, kami memainkan suatu permainan yang biasa dimainkan oleh anak-anak karena melihat suatu hal yang akan mereka lakukan dimasa depan dan menjadikan mereka ingin melakukannya.

Di tengah lapangan luas di belakang rumah, burung-burung berkicau seolah bernyanyi mengiringi langkah kami. Membawa setangkai daun pisang yang besar dan lebar, kutuntun dan kupayungi kawan lelaki dan seorang kawan perempuan, ya itulah yang kami lakukan. Setelah melihat pasangan pengantin yang bahagia berjalan di tengah kerumunan para tamu undangan serta diikuti oleh para anak-anak yang berpenampilan menarik seakan-akan terlihat seperti Raja dan Ratu, diusia kami yang masih belia melihat hal itu membuat kami ingin melakukannya dimasa depan. Kami berempat berjalan di atas rumput basah karena embun, mengitari lapangan yang luas dengan penuh suasana pedesaan. Seperti pengantin kecil, kami melangkah perlahan mengitari luasnya lapangan. Di tengah suasana yang kami nikmati, kami mendengar suara berisik dan lonceng yang berbunyi “Ting..ting..ting…”. Kami mencari asal suara lonceng berbunyi nyaring itu. Ditambah dengan angin yang menerpa dan suara ilalang yang gemerisik lonceng itu terdengar semakin keras. Saat kami berbalik arah dan melihat apa yang terjadi, kami terkejut serta ternganga melihat seekor anak sapi berwarna putih dengan lonceng dilehernya berlari menuju kearah kami.
Dengan hati penuh kecemasan dan rasa takut yang berlebihan, ku bersama kawan-kawan berlari menerjang apapun yang berada di depan kami. Suasana saat itu hampir tengah hari, matahari terlihat semakin dekat dengan kami. Tanpa disengaja kami terpisah dan berlari menuju arah yang saling berlawanan. Aku berlari bersama kakak kandung perempuanku, sambil bergandengan tangan dalam hatiku pun berkata “kapan ini berakhir…?”.  Kumelihat arah dibalikku, terlihat seekor anak sapi itu mengamuk dan merobohkan apapun didekatnya. Keringat mulai bercucuran dibadanku, ditambah dengan panasnya udara keringatku bercucuran semakin deras, aku dan kakakku terus berlari tanpa tujuan.


Sinar mentari semakin panas, nafasku tersenggal-senggal, anak sapi itu telah membuat tenagaku habis, aku dan kakakku terus berlari dan anak sapi itu kian mendekat kearah kami, membuat kami ketakutan. Aku mulai berfikir dan bersembunyi di balik ilalang, anak sapi itu mengamuk kesana-kemari seakan-akan mencari keberadaan kami, entah apa yang terjadi pada anak sapi itu sehingga membuatnya mengamuk. Di balik ilalang ku melihat teman perempuan  kami terlihat sangat ketakutan, wajahnya terlihat ingin di kasihani, anak sapi mulai mengejarnya tanpa berfikir panjang melihat ada sebatang pohon keres di depannya ia pun langsung naik hingga kepuncak pohon, anak sapi itu menunggu di bawah pohon dan membenturkan kepalanya kebatang pohon berulang kali hingga temanku menangis sangat ketakutan, hal itu membuatnya berpegangan erat pada ranting pohon. Melihat kejadian itu aku dan kakakku tertawa terpingkal-pingkal, tapi sayang suara keras kami membuat anak sapi itu berpaling mengajar kami. Aku dan kakaku pun spontan berlari “Ayo lari…!!!” Terdengar suara lirih kakakku. Sapi itu mengejar kami dengan langkahnya yang cepat, tanpa berfikir terlebih dahulu aku dan kakakku berlari ke semak-semak di dekat empang yang penuh dengan lumpur setinggi di atas mata kaki orang dewasa dan di penuhi berbagai macam mahluk hidup serta kotoran-kotoran binatang. Melihat anak sapi yang ingin menerkam kami aku dan kakaku bingung untuk melakukan apa, kami terjebak di semak-semak itu, aku dan kakakku saling menatap satu sama lain, anak sapi itu masih berlari kesana-kemari. Saat ku menengok ke belakang ku melihat anak sapi itu berlari menuju kearah kami,dengan paniknya aku mengajak kakakku berlari melewati empang “cepet, ayo nyebrang, ayo..ayo..!” ku teriaki kakakku terus menerus.

Aku langsung berlari dan menginjak air penuh lumpur yang bercampur dengan kotoran binatang. Karena kepanikanku aku tidak menyadari satu hal!! Bahwa, kakak tersayang ku tertinggal di pinggir empang.  Aku menengok kebelakang dan terlihat kakakku menahan air matanya. Saat ku sampai di seberang empang dengan kaki yang di penuhi lumpur lengket aku di tertawakan oleh kawan-kawan serta ibuku. Setelah beberapa saat diriku melihat anak sapi itu telah berada di belakang kakakku. Saat aku dan kawan-kawan serta ibuku menyuruh kakakku tuk bergegas melewati empang, aku terus mendesakknya “ayo kak, cepet nyebrang, gak apa kok, gak usah takut!” karena kakakku yang memiliki sifat penakut, ia pun akhirnya menangis dan terlihat celana yang dikenakannya basah, dia mengompol. “hahaha…!!!” Kami semakin tertawa keras melihat kejadian itu, saat keberanianya muncul untuk menceburkan diri ke empang, anak sapi yang berada dibelakang kakakku berlari kearah berlawanan dengan tempat kakakku berdiri. Anak sapi itu berlari dan menghilang dibalik semak-semak pohon tebu. Kakakku yang tengah berada di dalam empang menangis sambil tersenyum melihat anak sapi itu pergi. Aku dan ibuku serta ketiga kawankupun ikut tersenyum lebar. Alasan mengapa anak sapi itu mengejar kami masih terfikir dibenakku. Apakah anak sapi itu menyukai anak-anak kecil seperti kami dan ingin bermain dengan kami???.

Kamis, 01 Desember 2011

Desember 01, 2011

Dongeng Sebelum Tidur

SINGA DAN NYAMUK


Seekor singa sedang tidur-tiduran di sebuah padang rumput di hutan. Karena perutnya sudah kenyang, ia pun tertidur.

Di tengah-tengah tidurnya yang pulas seekor nyamuk terbang mengelilingi sang raja hutan tersebut. Si nyamuk hendak mengisap darah singa itu. Suara nyamuk yang mendengung membuat singa terbangun.. Ia merasa terusik dengan si nyamuk.

"Mmhhh... Awas kau nyamuk! Kau sudah mengganggu tidurku. Singa berusaha menangkap si nyamuk tapi dengan gesitnya si nyamuk bisa menghindar. ”Kau menyombongkan dirimu sebagai raja binatang. Tetapi aku tak takut padamu,” ejek   Nyamuk. Singa marah sekali. Sementara itu nyamuk mencari kesempatan untuk menggigitnya. Mengakulah kalah, Taring dan cakarmu yang tajam itu pun tak mampu menyakiti diriku. Nah sekarang giliranku,” kata nyamuk lagi. Kemudian ia mengembangkan sayapnya sambil mengepak-ngepakkannya dengan dahsyat. Tak lama, nyamuk-nyamuk lain berdatangan.



”Pasukan serbu....” teriaknya. Kawanan nyamuk pun segera menyerbu. ”Tolong...” teriak Singa sembari menggaruk wajahnya. Karena tak tahan, Singa melompat ke sungai untuk mengompres wajahnya yang bengkak. ”Sekarang akuilah kekalahanmu,” seru Nyamuk. Lalu ia terbang dengan congkaknya. Tiba-tiba ia terjerat ke dalam sarang laba-laba. Ia berusaha keras untuk meloloskan diri. Tetapi laba-laba itu dengan cepat menyerang dan membunuhnya. ”Oh, tak pernah kubayangkan aku akan mati oleh makhluk sekecil ini setelah berhasil mengalahkan Singa si Raja hutan,” tangisnya.......



Pesan moral : Jangan pernah menganggap suatu hal yang kecil dapat dengan mudah dilakukan. Dan jangan pernah merasa sombong dengan keberhasilan melakukan sesuatu hal yang besar.

Sidebar Ads